Di sebuah desa di Jawa, tahun 1943, suara perang terasa jauh tapi dampaknya nyata. Laki-laki banyak yang pergi entah jadi pekerja romusha, entah mati di medan perang. Sementara di antara sawah dan jalan tanah, datanglah kabar yang terdengar seperti harapan: pemerintah Jepang membuka kesempatan bagi gadis-gadis muda untuk bekerja di luar negeri, belajar, dan membantu keluarga mereka keluar dari kemiskinan.
Anak-anak gadis itu, polos dan penuh mimpi, menulis nama mereka di kertas perekrutan. Ada yang dijanjikan bekerja di kantor, ada yang katanya akan sekolah di Tokyo. Mereka tidak tahu bahwa surat perjanjian itu sebenarnya tiket menuju neraka.
Beberapa hari kemudian, truk militer datang. Gadis-gadis itu menangis di pelukan ibu mereka, tapi keyakinan bahwa ini demi masa depan membuat mereka tetap berangkat. Sebagian membawa baju terbaiknya, bahkan sempat berpamitan ke tetangga. Mereka tidak tahu bahwa langkah itu adalah langkah terakhir menuju dunia yang mengenal mereka sebagai manusia.
Kamp yang Tak Pernah Dijanjikan
Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di barak yang dijaga ketat. Tak ada sekolah, tak ada ruang belajar. Yang menunggu hanyalah kamar-kamar kecil berderet, dengan ranjang kasar dan bau alkohol yang menyengat. Di sinilah mereka dipaksa melayani tentara Jepang setiap malam.
Di barak itu, tubuh mereka bukan lagi milik sendiri. Mereka diberi makan agar kuat, tapi tidak diberi pilihan untuk menolak. Mereka masih belasan tahun, dan setiap malam menjadi perjuangan antara ingin mati dan harus tetap hidup.
Beberapa mencoba kabur. Tapi di luar sana hanya ada tentara dan penduduk yang takut. Siapa pun yang tertangkap akan disiksa di depan yang lain sebagai pelajaran agar tidak ada yang mencoba melarikan diri lagi.
Di Balik Luka, Ada Yang Bertahan
Ada satu gadis bernama Sri nama yang diambil dari banyak kisah yang Pramoedya dengar di Pulau Buru. Ia dulunya gadis desa yang gemar menulis puisi. Di barak itu, ia mencatat diam-diam di kertas bekas peti amunisi: nama-nama temannya yang sudah mati, tanggal-tanggal yang ingin diingat.
“Kalau aku tak bisa pulang,” tulisnya, “biarlah catatan ini yang pulang.”
Sri akhirnya selamat. Tapi ketika Jepang kalah dan perang berakhir, pulang justru menjadi hal paling menakutkan. Kampung halaman yang dulu ia rindukan menatapnya dengan jijik. Orang-orang berbisik di belakangnya. Mereka menyebutnya “bekas perempuan Jepang.”
Kemenangan yang Tak Menyelamatkan
Ketika Indonesia merdeka, dunia berteriak tentang kebebasan, tapi para perempuan seperti Sri hidup dalam diam. Tidak ada penghargaan untuk mereka, tidak ada tempat di sejarah. Mereka menyembunyikan diri, menikah tanpa menceritakan masa lalu, atau memilih hidup sendirian di sudut-sudut pulau terpencil.
Pulau Buru menjadi tempat bagi sebagian dari mereka. Di sanalah, bertahun-tahun kemudian, Pramoedya mendengar cerita itu dari mulut perempuan tua yang rambutnya sudah memutih. Ia tidak menangis lagi saat bercerita karena air mata sudah habis sejak perang. Tapi dari matanya, Pram tahu: luka itu tidak pernah benar-benar sembuh.
Suara dari Pulau Buru
Pramoedya menulis bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan. Ia sadar, sejarah selalu mencatat pahlawan laki-laki dengan senjata, tapi melupakan perempuan yang juga berjuang bukan di medan perang, tapi di medan kehinaan yang dipaksakan padanya.
Melalui buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, Pramoedya menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya ingatan bangsa. Ia ingin dunia tahu, bahwa di balik kemerdekaan yang kita rayakan, ada perempuan-perempuan muda yang mengorbankan masa depannya demi bertahan hidup di tengah kekuasaan militer yang tak mengenal belas kasihan.
Epilog
Kini, setiap kali kita membaca kisah perang dan kemerdekaan, mungkin sebaiknya kita berhenti sejenak mengingat wajah-wajah muda yang tidak pernah tercatat di buku sejarah. Mereka bukan pahlawan yang disambut meriah, tapi tanpa keberanian mereka untuk bertahan, mungkin sejarah bangsa ini juga tak akan lengkap.
“Mereka tidak meminta belas kasihan,” tulis Pram, “hanya diingat sebagai manusia.”
Editing TB Hendy yustana
