• Ming. Des 7th, 2025

Detik-Detik Mencekam di Rumah Sang Jenderal

ByTARGET86 NEWS

Okt 22, 2025

http://Target86news.web.id

Malam itu, suasana rumah di Jalan Teuku Umar No. 40 Menteng berubah menjadi ladang maut. Di tengah gelapnya dini hari 1 Oktober 1965, dentuman tembakan memecah kesunyian, menandai awal dari tragedi besar yang mengguncang bangsa Gerakan 30 September. Namun di balik riuhnya sejarah politik, terselip kisah pilu seorang bocah kecil bernama Ade Irma Suryani Nasution, putri bungsu Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.

Bocah berusia lima tahun itu terbaring lemah, tubuhnya berlumur darah. Peluru pasukan Cakrabirawa menembus punggungnya hingga ke limpa. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya tahu bahwa rumahnya dipenuhi orang bersenjata yang mencari ayahnya. Enam hari lamanya Ade Irma berjuang di rumah sakit, sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 6 Oktober 1965.

 

> “Papa… apa salah adek?”

Kalimat polos itu kini abadi dalam sebuah lukisan di Museum Jenderal Besar AH Nasution, di mana wajah mungil Ade Irma terlukis bersama sosok sang ayah. Sebuah pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban, menjadi simbol kepolosan yang direnggut oleh kebrutalan.

 

Detik-Detik Mencekam di Rumah Sang Jenderal

 

Kesaksian Yanti Nurdin Nasution, kakak sulung Ade Irma yang kala itu berusia 13 tahun, menggambarkan betapa mencekamnya malam itu. Ia terbangun oleh suara tembakan dan keributan di luar kamar. Dengan nekat, ia melompat dari jendela setinggi dua meter untuk menyelamatkan diri hingga tulang kakinya patah.

Dalam kepanikan, ia berlari mencari ajudan ayahnya, Lettu Pierre Tendean, untuk memberi tahu bahwa rumah mereka diserang. Tak lama kemudian, Pierre diculik oleh pasukan Cakrabirawa, disangka sebagai Jenderal Nasution, dan kelak ditemukan tewas di Lubang Buaya.

 

Sementara itu, Ibu Johana Nasution dengan gagah berani menghadapi para prajurit bersenjata. Ia mengatakan bahwa suaminya tidak ada di rumah, padahal sang Jenderal sudah melompat pagar dan bersembunyi di Kedubes Irak demi menyelamatkan diri.

Namun peluru-peluru itu telah lebih dulu menghujam tubuh kecil Ade Irma.

 

Pergulatan Antara Nyawa dan Takdir

 

Ade Irma segera dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto. Tubuh mungilnya berkali-kali dioperasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di limpanya. Meski dalam keadaan kritis, ia masih sempat menghibur kakaknya yang menangis, berkata dengan lembut:

 

> “Kakak jangan menangis, adik sehat…”

Dan kepada ibunya, ia bertanya polos,

“Kenapa ayah mau dibunuh, Mama?”

 

Pertanyaan-pertanyaan polos itu kini menjadi kenangan abadi yang menyesakkan dada. Enam hari kemudian, malaikat kecil itu berpulang ke pangkuan Ilahi. Di nisan mungilnya, sang ayah menulis kalimat penuh duka:

 

> “Anak saja jang tertjinta. Engkau telah mendahului gugur sebagai perisai Ajahmu.”

 

Darah yang Menjadi Saksi Sejarah

 

Tragedi malam itu bukan sekadar kisah politik, melainkan potret nyata penderitaan manusia. Seorang ayah kehilangan putrinya, seorang ibu kehilangan cahaya rumahnya. Ade Irma Suryani menjadi simbol kepolosan yang terkorban oleh ambisi dan kekerasan.

Ia bukan sekadar nama dalam buku sejarah, tapi lambang cinta yang abadi seorang anak yang gugur bukan karena salah, melainkan karena keberanian ayahnya melawan kegelapan zaman.

 

Kini, setiap pengunjung museum yang berdiri di rumah itu akan merasakan keheningan yang menyesak. Lukisan Ade Irma masih tergantung di dinding, seolah matanya yang lembut tengah bertanya pada kita semua:

“Sampai kapan darah tak bersalah harus menebus kesalahan orang dewasa?”

 

#AdeIrmaSuryani #Tragedi1965 #AnakPahlawan #MuseumNasution #SejarahIndonesia #GugurSebagaiPerisai #KisahMenyayatHati

EDITING TB Hendy yustana

By TARGET86 NEWS

Media Pers TARGET86NEWS.web.id MEDIA nya INDONESIA, Update Berita berita Terbaru Khusus nya Untuk sebagai sarana Informasi di Seluruh Indonesia. Dari Rakyat Untuk Rakyat Menjadi Rakyat' Membela Rakyat Wa / Hp : 083172988502

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *